Kaya Tapi Zuhud
وسئل الإمام أحمد عن الرجل يكون معه ألف دينار وهل يكون زاهدا قال نعم بشرط أن لا يفرح إذا زادت ولا يحزن إذا نقصت
Suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal mendapatkan pertanyaan mengenai seorang yang memiliki uang sebanyak seribu dinar [1 dinar=4,25 gr emas], apakah dia bisa menjadi orang yang zuhud?
Jawaban beliau, “Bisa dengan dua syarat yaitu tidak gembira jika hartanya bertambah dan tidak sedih jika hartanya berkurang” [Uddah ash Shabirin karya Ibnul Qoyyim hal 226].
Terkadang dijumpai ada seorang yang memiliki harta yang sangat banyak akan tetapi jika berkurang dia tidak terpengaruh, makan tetap terasa enak dan tidurnya nyenyak seakan tidak ada masalah. Sebaliknya jika hartanya bertambah banyak dia pun tidak gembira karena pertambahan hartanya. Bertambah dan berkurangnya harta baginya itu sama saja karena perhatiannya tertuju akherat. Harta itu hanya ada di tangannya yang kemudian dia pergunakan untuk hal hal yang manfaat di akherat.
Ini adalah hal penting yang tidak dipahami oleh banyak orang. Banyak orang beranggapan bahwa zuhud adalah meninggalkan harta dan meninggalkan nikmat dunia yang bisa memberikan manfaat di akherat.
Suatu ketika al Hasan al Bashri mendapatkan pertanyaan, “Siapakah itu orang yang zuhud?”
Jawaban beliau, “Orang yang zuhud adalah seorang yang berjumpa dengan seseorang maka dia berkata di dalam hatinya bahwa orang ini lebih baik dari pada dirinya” [Baihaqi dalam Syuabul Iman 6/301].
Inilah penjelasan berharga yang disampaikan oleh al Hasan al Bashri. Orang yang zuhud itu manakala berjumpa dengan seorang muslim maka dia berprasangka bahwa orang tersebut lebih baik dari pada dirinya di sisi Allah. Artinya dia tidaklah peduli dengan dunia, merasa hina di sisi Allah dan tidak sombong terhadap sesama. Hal ini hanya terjadi pada seorang yang mendapatkan anugrah dari Allah sehingga dia isi hatinya dengan merindukan akherat dan menghindari ketergantungan dengan dunia.
Bisa disimpulkan bahwa zuhud itu bukanlah kemiskinan, bukan pula bermakna meninggalkan harta. Zuhud yang haqiqi terdapat dalam hati dengan tergantungnya hati dengan akherat dan menjauhi serta jaga jarak dengan dunia. Orang yang zuhud menyikapi dunia dengan status hanya sekedar di tangan, bukan di hatinya. Sehingga semua aktivitasnya dia niatkan agar memberikan manfaat di akherat.
Ketika dia sibuk berbisnis maka bisnis tersebut dia manfaatkan untuk mendukung kebaikan dan hal hal yang memberikan manfaat di akherat.
Referensi:
Syarh Arbain Nawawiyyah karya Syaikh Shalih alu Syaikh hal 435-436, terbitan Dar Ashimah Riyadh KSA, cet pertama 1431 H.